Rabu, 29 Agustus 2007

Hukum Nurani


Oleh: Ulil Abshar Abdalla
Gejala yang sangat khas pada umat Islam sejak dulu hingga sekarang adalah kecenderungan untuk menanyakan hukum agama berkenaan dengan semua hal, hingga ke aspek-aspek yang paling detil. Inilah yang menjadi lahan subur untuk lahirnya ribuan fatwa.
Setiap umat Islam hendak melakukan sesuatu, mereka selalu bertanya kepada seorang ulama bagaimana hukum Islam mengenai sesuatu itu.
Ilmu fikih tumbuh subur karena adanya mentalitas selalu ingin menanyakan hukum segala hal itu. Gejala ini dianggap normal oleh umat Islam, sebab hal itu menunjukkan bahwa umat Islam sadar hukum dan sadar tentang pentingnya menaati hukum (Tuhan) dalam setiap langkah yang mereka ambil.
Memang tidak seluruhnya gejala semacam ini jelek, tetapi jika berlangsung dengan eksesif, ia jelas akan beradampak buruk pada perkembangan corak keberagamaan dalam umat Islam.
Jika anda membaca rubrik fatwa yang sekarang menjamur di mana-mana, anda akan menemukan pertanyaan-pertanyaan yang aneh-aneh, kadang menggelikan. Dalam suatu rubrik fatwa, saya pernah membaca seseorang menanyakan kepada seorang ulama yang mengasug rubrik tanya-jawab agama tentang bagaimana hukum mengkonsumsi minyak ular: apakah diperbolehkan menurut Islam atau tidak.
Waktu saya kecil dulu, pernik-pernik perkara ibadah memang didiskusikan hingga sudut-sudut yang paling pojok sekalipun. Misalnya, bagaimana hukumnya jika seseorang yang berpuasa mandi lalu air masuk secara tak sengaja ke lubang telinga: batalkah puasanya? Jika seseorang salat memakai sajadah, lalu ujung sajadah itu menyentuh suatu kotoran (najis, misalanya tahi ayam), apakah salat orang itu batal atau tidak?
Gejala inilah yang dulu diejek kaum reformis Islam sebagai "fiqh-oriented". Saya ingin menyebutnya sebagai "fikihisme". Gejala ini dulu umum berlaku hanya di kalangan Muslim tradisional di pedesaan. Anehnya, gejala ini sekarang muncul kembali di tengah-tengah masyarakat Muslim kota, dan justru di kalangan terdidik.
Gejala ini, menurut saya, menandakan adanya "ketidakdewasaan moral" dalam umat Islam. Menanyakan hukum Islam mengenai segala sesuatu menandakan bahwa umat Islam tidak berani berpikir sendiri. Mereka memandang bahwa hukum adalah sesuatu yang tertera dalam teks Kitab Suci, sementara hasil penalaran manusia bukan dianggap sebagai suatu hukum yang mengikat.
Karena orang-orang yang dianggap sebagai ahli tentang teks agama adalah para ulama, maka mereka selalu berpaling kepada ulama untuk menanyakan segala hal. Menggantungkan segala keputusan kepada ulama, umat Islam tidak berani melakukan penalaran rasional sendiri atas segala hal yang mereka hadapi.
Saya tidak "anti ulama". Ulama, buat saya, adalah semacam eksemplar moral yang menjadi inspirasi bagi umat, bukan menjadi semacam "mesin kalkulator" untuk menjawab semua pertanyaan umat. Pada akhirnya umat harus didorong untuk berpikir sendiri secara dewasa.
Untuk itulah saya mengajukan suatu bentuk hukum lain, yakni hukum nurani. Inspirasi gagasan ini saya peroleh dari hadis Nabi yang terkenal, "Istafti qalbaka", mintalah fatwa pada nuranimu sendiri.
Artinya, sangat penting bagi umat Islam untuk mengembangkan kesadaran moral yang tinggi, mendalam, dan penuh tanggungjawab. Hal itu tak bisa lain kecuali jika umat Islam terus mengasah agar nuraninya berkembang dengan sehat. Nurani yang sehatlah yang akan menjadi pemandu bagi seorang beriman.
Dalam menghadapi segala sesuatu, ia tak perlu bertanya kepada seorang ustad; ia hanya perlu bertanya kepada nuraninya sendiri. Ia boleh bertanya kepada seorang ustad, tetapi pada akhirnya keputusan final tetap ada di tangan nurani yang bersangkutan.
Dengan demikian, umat Islam akan pelan-pelan menjadi subyek yang secara moral dewasa. Dan itulah tujuan akhir agama yang sangat penting: kedewasaan moral. Dengan nurani yang matang dan sikap moral yang dewasa, seorang beriman akan menjalankan agama bukan karena aturan-aturan formal yang dipakasakan dari luar, tetapi karena dorongan yang kuat dari dalam "diri" sendiri. (http://www.islamlib.com/)

Tidak ada komentar: